Lanting, asal kata dari bahasa Dayak Kahayan yang saya artikan dalam bentuk bangunan yang berdiri diatas air dengan ditopang oleh balok-balok kayu sehingga bisa mengambang dan bergerak mengikuti ketinggian air. Supaya tidak terseret oleh arus, umumnya ditambatkan dengan tali yang cukup kuat pada sebilah pohon besar melalui cincin yang melingkar di batangnya, rangkaian cincin dan tali tersebut orang menyebutnya Tambuhak. Di Jambi saya dikenalkan dengan istilah "Rumah Rakit", tapi di Kahayan lanting tidak harus berbentuk rumah, dia bisa Rumah Makan, Warung, Pom Bensin, Mesin Sedot Emas, Kandang Babi, Peternakan Ayam, Sandaran Perahu atau Kincir Air yang sedang kita ceritakan ini.
Namanya Mantan Kali (bekas sungai), tapi sungai di belahan bumi Borneo ini lebarnya gak kira-kira, bisa puluhan kali lipat dari sungai-sungai yang ada di Jawa, kalo ada upaya bikin bendungan mestinya biayanya juga berlipat-lipat, untungnya juga kali yah.... Mungkinkah bikin bendungan di Hulu Kahayan ini? Mungkin saja, gak ada yang tidak mungkin dilakukan, asal jalur transportasi masyarakat yang masih 100% mengandalkan lewat kayuhan baling-baling ini digantikan dengan roda kuda besi.
Bagaimana dengan bahan bakarnya? pernah saya nyoba berhitung kebutuhan mereka untuk tiap malemnya jika ada hajatan penting yang membutuhkan peralatan penerangan dengan menggunakan mesin diesel Dong Peng, setidaknya perlu lampu nyala dari lepas Maghrib hingga minimal tengah malam jam 24.00, itu berarti 6 jam, bisa menghabiskan sebanyak 2-4 liter solar. Yang membedakan sehingga menjadi beban mahal karena patokan harga solar tidak ikut standard Pertamina, karena mereka harus mengangkutnya secara mandiri selama 2 hari hingga sampai di kota Kecamatan, lah kalo solar diangkut dengan mesin solar jatuh terakhirnya bisa 2-4 kali lipat harga bandrol. Semalam menghabiskan solar untuk penerangan sebesar Rp. 30.000,- itu masih sangat mahal. Untuk sebulan kudu bayar tagihan listrik berapa jadinya?
Bahan dah cukup neh untuk bergerak, saya bersama Amay Sandy dan Amay Sinder mau nyoba iseng-iseng bikin rancangan Pembangkit Listrik yang bisa diaplikasikan sesuai dengan kondisi lokal, sama-sama gak punya pengalaman, gak kenal teorinya, yang kita tau di desa sebrang pernah membuat kincir untuk penghancur batu, untuk mencari emasnya. Tanya sana-sini tentang kincir, arus sungai dan listrik, malah sempet dikenalkan sama wandi dengan dosen pengairannya dudi untuk tanya tanyi biar semakin lengkap, karena mendengar kabar sang dosen tersebut yang pernah bikin project gelombang laut untuk energi.
Akhirnya kita hanya sampe menuntaskan sebatas miniaturnya saja, belum sampe ke bentuk nyatanya karena beberapa kendala, saya posting ulang untung mengenang semangat bapak-bapak ini yang tak pernah kenal lelah mengarungi arus kehidupan yang begitu deras di daerah udik sana. Juga daripada photo ini jadi sekedar album kenangan yang tidak bisa bercerita dan membusuk di hardisk, syukur-syukur ada pembaca atau sarjana yang tau banyak tentang air dan kincir bisa kasih saran rembug. Dan berharap kerjaan yang setengah ini masih bisa memberi inspirasi.
uconk: kincir air itu ternyata bisa muter-muter, kadang di kenceng, kadang alon, seng penting kelakon...opo sih iki...???
Namanya Mantan Kali (bekas sungai), tapi sungai di belahan bumi Borneo ini lebarnya gak kira-kira, bisa puluhan kali lipat dari sungai-sungai yang ada di Jawa, kalo ada upaya bikin bendungan mestinya biayanya juga berlipat-lipat, untungnya juga kali yah.... Mungkinkah bikin bendungan di Hulu Kahayan ini? Mungkin saja, gak ada yang tidak mungkin dilakukan, asal jalur transportasi masyarakat yang masih 100% mengandalkan lewat kayuhan baling-baling ini digantikan dengan roda kuda besi.
Pembangkit Energi Listrik
Kebutuhan masyarakat Hulu Kahayan terhadap listrik nampaknya sudah tidak dapat terbendung lagi, mereka menggunakannya untuk kebutuhan peralatan pertanian, khususnya pasca panen padi (giling padi), pertukangan (alat serut), hiburan (televisi, play station) dan tentu saja penerangan, baik penerangan di rumah maupun jalan kampung. Lebih-lebih jika ada acara adat seperti perkawinan atau kematian, kebutuhan penerangan terasa sangat mendesak sehingga bener-bener mereka upayakan sedapatnya, dengan meminjam genset atau mesin diesel tetangga atau kerabat mereka.Bagaimana dengan bahan bakarnya? pernah saya nyoba berhitung kebutuhan mereka untuk tiap malemnya jika ada hajatan penting yang membutuhkan peralatan penerangan dengan menggunakan mesin diesel Dong Peng, setidaknya perlu lampu nyala dari lepas Maghrib hingga minimal tengah malam jam 24.00, itu berarti 6 jam, bisa menghabiskan sebanyak 2-4 liter solar. Yang membedakan sehingga menjadi beban mahal karena patokan harga solar tidak ikut standard Pertamina, karena mereka harus mengangkutnya secara mandiri selama 2 hari hingga sampai di kota Kecamatan, lah kalo solar diangkut dengan mesin solar jatuh terakhirnya bisa 2-4 kali lipat harga bandrol. Semalam menghabiskan solar untuk penerangan sebesar Rp. 30.000,- itu masih sangat mahal. Untuk sebulan kudu bayar tagihan listrik berapa jadinya?
Bahan dah cukup neh untuk bergerak, saya bersama Amay Sandy dan Amay Sinder mau nyoba iseng-iseng bikin rancangan Pembangkit Listrik yang bisa diaplikasikan sesuai dengan kondisi lokal, sama-sama gak punya pengalaman, gak kenal teorinya, yang kita tau di desa sebrang pernah membuat kincir untuk penghancur batu, untuk mencari emasnya. Tanya sana-sini tentang kincir, arus sungai dan listrik, malah sempet dikenalkan sama wandi dengan dosen pengairannya dudi untuk tanya tanyi biar semakin lengkap, karena mendengar kabar sang dosen tersebut yang pernah bikin project gelombang laut untuk energi.
Tak Mengenal Gagal
Yang kami pikirkan adalah membuat Lanting dengan kincir air untuk menggerakkan dinamo, outputnya memang tidaklah besar, karena sasaran kami adalah kebutuhan listrik untuk satu rumah atau setidaknya untuk menerangi jalan kampung, tentang Teknologi Kelistrikannya rencana menggunakan teknik sederhana yang pernah saya posting sebelumnya disini Energi Alternatif dari Gunung HalimunPak Sandy dan Pak Sinderman bekerja, aku yang memotret hehehheehe
Akhirnya kita hanya sampe menuntaskan sebatas miniaturnya saja, belum sampe ke bentuk nyatanya karena beberapa kendala, saya posting ulang untung mengenang semangat bapak-bapak ini yang tak pernah kenal lelah mengarungi arus kehidupan yang begitu deras di daerah udik sana. Juga daripada photo ini jadi sekedar album kenangan yang tidak bisa bercerita dan membusuk di hardisk, syukur-syukur ada pembaca atau sarjana yang tau banyak tentang air dan kincir bisa kasih saran rembug. Dan berharap kerjaan yang setengah ini masih bisa memberi inspirasi.
uconk: kincir air itu ternyata bisa muter-muter, kadang di kenceng, kadang alon, seng penting kelakon...opo sih iki...???
hahaha bisa aja.ok.sukses deh.soalnya,kalimantan tu kalo gak salah,terbaik dalam ekspor asap dan terbagus dalam pembuatan titik api di gambutnya, setelah sumatera.Ayo deh berkarya.kapan lagi.
BalasHapustapi tetap aja.......thanks yo yang banyak.
senang saya bisa mengunjungi site ini,,
BalasHapussaya bisa minta bantuan ga untuk rincian biayanya...
dan kami butuhkan untuk 32 rumah , air sungai cukup deras dan ada air terjun juga,daera sumatera barat...cerita nya hampir sama dengan tulisan di sini